Pemimpin Kaitannya Dengan Wibawa
Organisasi Tata Negara
Jurnal Harian - Setiap organisasi, formal maupun informal, membutuhkan kepemimpinan. Menurut George R. Terry,
pada hakikatnya kepemimpinan adalah kemampuan memengaruhi dan
menggerakkan orang-orang lain, sehingga mereka bertindak dan berperilaku
sebagaimana diharapkan, terutama untuk tercapainya tujuan yang
diinginkan organisasi. Koontz dan O’Donnel mengatakan: “Leadership is the art of inducing subordinates to accomplish their assignments with zeal and confidence”. Keith Davis: “Leadership is the ability to persuade others to seek defined objectives enthusiastically.”
Untuk mampu memengaruhi dan menggerakkan sedemikian rupa, seorang
pemimpin perlu memiliki kewibawaan. Bahkan mungkin bisa dikatakan bahwa
kepemimpinan tak berarti tanpa dilekati kewibawaan. Raven Duncan bahkan menegaskan bahwa “Power probably is related most closely to the source of leadership controversy.” Dari manakah seorang pemimpin ‘memperoleh’ kewibawaan? Ada beberapa sumber kewibawaan, yaitu:
- Coersive power: Sumber kewibawaan seseorang dapat berupa kekuasaan yang dimilikinya untuk memaksakan kehendaknya. Raven Duncan mengatakan: “stems from the ability to mediate punishment for the influence”.
- Reward power: Sumber kewibawaan seseorang dapat berasal dari kemampuannya memberikan imbalan, kebalikan dari coersive power.
- Legitimate power: Ketentuan resmi dari pejabat yang berwenang merupakan salah satu sumber yang menyebabkan seseorang memiliki kewibawaan untuk memengaruhi perilaku anggota kelompoknya.
- Referent power: Kewibawaan karena pengaruh hubungan dalam kelompok. Dalam konteks kepemimpinan Indonesia dikenal dengan teori keteladanan.
- Expert power: Kewibawaan karena keahlian. Seseorang memiliki kewibawaan karena ia ahli di bidangnya.
- Charismatic power: Kewibawaan karena kharisma. Kendati sekarang kurang relevan, tetapi masih banyak orang yang dianggap berwibawa karena kharisma yang dimilikinya.
Apabila kepemimpinan sesungguhnya selalu
berkonotasi baik, tidak demikian dengan kewibawaan yang sangat mudah
tergelincir ke dalam penyalahgunaan. Kewibawaan yang tidak secara
alamiah dan atau wajar melekat erat pada kepemimpinan merupakan ‘tanda
bahaya’ bagi seorang pemimpin. Kepemimpinan akan efektif hanya bila
kewibawaan pemimpin terpelihara dalam keseharian kepemimpinannya.
Demikianlah dipahami dinamika kepemimpinan dalam dunia modern.
Sumber-sumber kewibawaan itu sulit diberi contoh ‘profesi’ pemiliknya
karena kewibawaan lebih cepat meninggalkan kepemimpinan ketimbang
sebaliknya dan masing-masing bersifat komplementer terhadap lainnya
kendati mungkin saja salah satunya mendominasi kepemimpinan seseorang.
Ada dua arus besar tentang keberhasilan kepemimpinan berikut plus-minus masing-masing, yaitu yang berdasarkan sifat-sifatnya (traits theory), baik fisik maupun psikis dan yang berdasarkan situasinya (situational theory). Davis (1972) meneliti bahwa ada empat sifat yang dapat menyebabkan keberhasilan kepemimpinan seseorang, yaitu: intellegence, social maturity and breadth, inner motivation and achievement drives, human relations attitudes. Sedangkan Filley dan House (1969) menyimpulkan ada 12 faktor yang memengaruhi keberhasilan kepemimpinan seseorang, yaitu: the
age of the organizational, the age of the previous incumbent in the
leader position, the age of the leader and his previous experience, the
community in which the organization operates, the particular work
requirements of the group, the psychological climate of the group being
led, the kind of job the leader holds, the size of the group led, the
degree to which group-member cooperation is required, the cultural
expectations of subordinates, group-member personalities, the time
required and allowed for decision making.
Perilaku/ gaya kepemimpinan

- Otokratis: Gaya kepemimpinan otokratis umumnya terjadi bila pemimpin banyak memengaruhi atau menentukan perilaku pengikutnya. Ia lebih banyak memerhatikan pencapaian tujuan.
- Demokratis: Gaya kepemimpinan demokratis umumnya terjadi bila partisipasi pengikut lebih besar daripada kecenderungan pemimpin untuk menentukan sendiri.
- Laissez-faire: Gaya kepemimpinan bebas adalah gaya kepemimpinan yang lebih banyak menekankan keputusan kelompok. Dalam gaya ini pemimpin akan menyerahkan keputusan kepada keinginan kelompok. Apa yang baik menurut kelompok, itulah yang akan menjadi keputusan.
Ilustrasi berikut ini melukiskan dinamika
kepemimpinan ditinjau dari interaksi antara pemimpin (pemegang/
pengelola kewibawaan) dan yang dipimpin.

Sistematika Likert
berikut ini jelas merinci kaitan sistem kepemimpinan yang diterapkan
terhadap perilaku bawahan dan pengaruhnya terhadap pembentukan hubungan
antara pemimpin dan yang dipimpin.

Sistem I: Pemimpin
kurang percaya kepada bawahannya. Bawahan tidak atau sedikit terlibat
dalam proses pengambilan keputusan. Pemimpinlah yang membuat keputusan
dan menyampaikannya kepada bawahan, bila perlu menggunakan ancaman dan
paksaan. Atasan dan bawahan bekerja dalam suasana saling mencurigai,
Bila muncul organisasi informal, maka organisasi informal itu bersifat
menentang organisasi formal.
Sistem II: Pemimpin
bertindak cukup baik. Dalam kerangka pola yang sudah ditentukan, para
bawahan dapat membuat keputusan sendiri. Penghargaan dan hukuman tetap
dilakukan sebagai usaha untuk mendorong para bawahan untuk bekerja lebih
baik. Hubungan atasan dan bawahan sudah berjalan dalam suasana yang
baik, tetapi bawahan tetap berhati-hati dan merasa khawatir. Bila muncul
organisasi informal, maka organisasi informal itu tidak selalu
bermaksud menentang organisasi formal.
Sistem III: Pemimpin
sudah memiliki – sedikit atau banyak – kepercayaan dan keyakinan kepada
bawahannya. Walaupun keputusan-keputusan yang penting tetap dilakukan di
tingkat atas, para bawahan sudah dapat membuat berbagai keputusan yang
bersifat khusus (dalam bidang masing-masing). Komunikasi dua arah sudah
berjalan dan sudah terdapat rasa saling percaya. Bila muncul organisasi
informal, maka kehadirannya belum atau tidak mendukung, bahkan
menghambat organisasi formal.
Sistem IV: Pemimpin
percaya dan yakin sepenuhnya terhadap bawahannya. Pengambilan keputusan
dilakukan secara menyebar (desentralisasi). Komunikasi tidak hanya
berjalan dari atas ke bawah (vertikal) dan atau sebaliknya, tetapi
antarsesama anggota yang setingkat (horisontal) pula. Hubungan atasan
dan bawahan berjalan dalam suasana persahabatan atas dasar saling
percaya. Organisasi formal dan informal hampir merupakan satu kesatuan,
bahkan hampir sama.
Sementara itu Robert R. Blake, Jane S. Mouton, dan Benjamin Fruchter, “A Factor Analyst of Training Group Behavior”, Journal of Psychology, October 1962, p.121-130 menggambarkannya dalam dua dimensi kepemimpinan:

Menurut Fred E. Fiedler (1967) dalam buku A Theory of Leadership Effectiveness, New York: McGraw Hill Book Coy., p.32, ada tiga variabel situasi yang menentukan efektivitas kepemimpinan, yaitu:
- Hubungan pemimpin-anggota: berkaitan dengan seberapa baik tingkat penerimaan anggota kelompok terhadap pemimpin.
- Struktur tugas: berkaitan dengan ‘rutinitas’ pekerjaan para bawahan dalam arti telah dirumuskan, sehingga tidak membingungkan.
- Posisi kekuasaan: berkaitan dengan penyediaan kewenangan formal yang diberikan kepada pemimpin.
Tiga alasan penting mengapa model Fiedler berperanan penting dalam studi konsepsi kepemimpinan dan perilaku organisasi:
- Model ini berorientasi kepada efektivitas, bukan sekadar preskripsi.
- Model ini berorientasi kepada suatu azas bahwa tidak ada gaya kepemimpinan yang terbaik. Semuanya harus disesuaikan dengan situasi; maka seorang pemimpin perlu bersikap adaptif.
- Model ini memberikan arah bahwa pimpinan tertinggi yang berkewenangan untuk menjadikan seseorang sebagai ‘pemimpin’ pada tingkat yang lebih rendah, agar menyesuaikan pengangkatan orang itu dengan tingkat kematangan suatu organisasi secara keseluruhan.

Memilih gaya kepemimpinan yang sesuai dengan ‘sikon’:
Sikon I: hubungan antara
pemimpin dengan pengikutnya baik, tugas pekerjaan tersusun, dan posisi
kekuasaan kuat, maka gaya kepemimpinan yang efektif adalah gaya yang
berorientasi pada tugas pekerjaan (task-oriented).
Sikon IV: hubungan
antara pemimpin dengan pengikutnya baik, tetapi tugas pekerjaan tidak
tersusun, dan posisi kekuasaan tidak cukup kuat, maka gaya kepemimpinan
yang paling baik adalah yang berorientasi pada pengikut (human relations).
Indonesia sedang akan memilih para
pemimpinnya. Sudah ada beberapa contoh kepemimpinan nasional kita hingga
keadaan kita seperti sekarang ini. Demikian pula di setiap daerah,
sudah silih berganti pemimpin datang dan pergi. Pemimpin yang
bagaimanakah pilihan Anda? Kalau Anda belum tergerak untuk menentukan
pilihan, sekurang-kurangnya jangan lewatkan pertanyaan bagi diri
sendiri: “Bagaimana dengan kepemimpinanku?”