Perkembangan Ilmu
Ilmu Pengetahuan
Jurnal Harian - Pengetahuan
telah berkembang sejak adanya manusia. Tetapi pengorganisasian ilmu
oleh bangsa Yunani dengan pendekatan silogistik merintis perkembangan
ilmu secara sistematis, sekurang-kurangnya, sebelum masa Renaissance
yang ditandai oleh Galileo Galilei dengan teropong bintangnya. Sampai
dengan saat ini, logika deduktif mengembangkan teori-teori yang terlepas
dari pengalaman empirik. Bahkan Aristoteles pun tak terhindar dari
kesalahan ketika ia menyatakan beberapa perkiraan yang mengandalkan
logika belaka, dan kemudian ternyata salah.
Francis
Bacon pada permulaan abad XVII memelopori penggunaan metode induktif
karena menurutnya alam jauh lebih misterius dibandingkan kepelikan
argumen. Galileo, Lavoiser dan Darwin menggunakan bukti-bukti empirik
sekadar untuk menguji kebenaran hipotesis mereka. Tetapi pengumpulan
keterangan yang cukup mengenai sesuatu tanpa hipotesis terlebih dulu
sekadar untuk mempertahankan kesempurnaan obyektivitas sungguh tidak
efisien maupun efektif. Tanpa hipotesis sebelumnya, seorang peneliti
akan cenderung tidak selektif dalam mengumpulkan data. Perumusan masalah
dan kejelasan formulasinya akan membuahkan hipotesis yang membuat
langkah pengumpulan data dan eksplorasinya tepat guna. Tetapi metode
induktif pun tidak memuaskan pada tingkat kemajuan ilmu sebagaimana
diragukan oleh Albert Einstein. Menurut dia, tak ada metode induktif
yang mampu menuju pada konsep fundamental dari ilmu alam.
Dengan
menggabungkan metode deduktif Aristoteles dan metode induktif Bacon,
Charles Darwin dapat dipandang sebagai pelopor metode keilmuan modern.
Metode deduktif dan induktif yang digunakan secara komplementer dalam
langkah-langkah pencarian kebenaran ilmiah telah menjadi pilihan cerdas
untuk pengembangan ilmu ynag kini semakin pesat kemajuannya. Ilmuwan
modern pada umumnya menggunakan metode induktif untuk mengembangkan
hipotesis dari pengalaman. Dalam kajiannya, ia memanfaatkan pengetahuan
yang telah ada untuk menguji hipotesisnya. Fakta dan teori dijadikan
alat konfirmasi terhadap hipotesis sehingga ia memperoleh gambaran yang
lebih jelas tentang masalah yang dihadapinya. Pendekatan ganda ini
menjadikan kegiatan keilmuan bersifat efisien dan efektif, sesuai
peribahasa “Virtus stat in medio” (Kebijaksanaan berdiri di tengah-tengah).
George
J. Mouly membagi perkembangan ilmu pada tahap animisme, ilmu empiris
dan ilmu teoritis. Pembagiannya ini mengingatkan kita pada tahap
perkembangan kebudayaan yang dikemukakan oleh van Peursen: tahap mistis,
tahap ontologis, tahap fungsional. Pada tahap animisme, manusia
menjelaskan gejala yang ditemuinya dalam kehidupan sebagai perbuatan
dewa-dewi, hantu dan berbagai makhluk halus. Pandangan mistis itu hingga
kini masih berlangsung juga, bahkan di negara-negara yang peradabannya
telah sangat maju.
Observasi
sistematis dan kritis yang kemudian dilakukan telah mengembangkan
pengetahuan manusia ke tahap ilmu empiris. Manusia mulai mengambil jarak
dari obyek di sekitarnya dan mulai menelaah obyek-obyek itu. Langkah
paling penting yang menandai permulaan ilmu sebagai suatu pendekatan
sistematis dalam pemecahan masalah terjadi pada tahap ini, yakni ketika
manusia menyadari bahwa gejala alam dapat diterangkan melalui telaah
sebab-musabab alamiah.
Penemuan
yang semula terpisah-pisah mulai diintegrasikan ke dalam suatu struktur
yang utuh dengan menguji hipotesis-hipotesis dalam kondisi yang
terkontrol. Proses ini oleh Mouly dibagi menjadi dua tahap perkembangan
yang saling bertautan:
1) tingkat
empiris: ilmu terdiri dari hubungan empiris yang ditemukan dalam
berbagai gejala dalam bentuk pernyataan serupa “X menyebabkan Y” tanpa
mengetahui alasan mengapa hal itu terjadi;
2) tingkat
teoritis: penjelasan yang mengembangkan suatu struktur teoritis yang
bukan hanya menerangkan hubungan empiris yang terpisah-pisah, tetapi
juga mulai mengintegrasikannya menjadi suatu pola yang berarti.
Titik tolak ilmu adalah pengalaman.
Ilmu mulai dengan suatu observasi dan menggabungkannya dengan
observasi-observasi lain sehingga diperoleh suatu kesamaan atau
perbedaan untuk menyusun prinsip-prinsip dasar yang dapat digunakan
untuk menerangkan terjadi atau tidak terjadinya serangkaian pengalaman.
Jumlah dan ragam pengalaman yang terpisah-pisah itu harus direduksi
sedemikian rupa hingga menjadi prinsip-prinsip dasar yang kokoh untuk
menyatukan semua pengalaman yang bersifat lebih umum dan dapat
diterapkan secara lebih luas.
Maka, prosedur yang paling dasar untuk mengubah data terpisah menjadi dasar yang fungsional adalah klasifikasi.
Dengan mengetahui kelas suatu gejala lewat identifikasi sifat-sifatnya
yang spesifik menurut tujuan penelitian, kemungkinan terjadinya
penumpukan koleksi data tanpa makna dapat diminimalisasi. Tetapi
observasi kualitatif saja kurang memadai. Kuantifikasi
dapat memberikan ketelitian yang diperlukan bagi klasifikasi yang
matang. Melalui klasifikasi yang demikian itu dapat diketahui adanya
hubungan fungsional tertentu antara aspek-aspek komponennya. Hubungan
fungsional antara berbagai gejala dapat diobservasi antara lain lewat
klasifikasi maupun urutan kejadian. Namun pencarian hubungan-hubungan
itu perlu dilaksanakan secara teliti karena adanya faktor kebetulan.
Maka analisis terhadap suatu hal atau peristiwa harus memperhatikan
unsur-unsur fundamental untuk menentukan secara lebih jelas
hubungan-hubungan dari berbagai aspek. Dengan cara itulah diperoleh perkiraan kebenaran yang cukup untuk mendukung tujuan penelitian.
Tingkat yang paling akhir dari ilmu adalah ilmu teoritis
yang menerangkan hubungan dan gejala yang ditemukan dalam ilmu empiris
dengan dasar suatu kerangka pemikiran tentang sebab-musabab sebagai
langkah untuk meramalkan dan menentukan cara untuk mengontrol kegiatan
agar hasil yang diharapkan dapat dicapai. Kelebihan ilmu teoritis
dibandingkan ilmu empiris dapat dilihat dengan memperhatikan
keterbatasan ilmu empiris yang canggung, tidak mudah diterapkan karena
obyek/ subyek penelitian merupakan gejala yang terpisah-pisah. Ilmu
empiris sangat terbatas terutama dalam peramalan dan kontrol yang
merupakan tujuan terakhir dari ilmu. Ilmu teoritis dapat memperpendek
proses untuk sampai pada pemecahan masalah. Kelebihan ilmu teoritis
nyata dalam merangsang penelitian dan dalam memberikan hipotesis yang
berharga sebagaimana terdapat pada ilmu fisika. Bom atom tidak dibuat
secara empiris kemudian diterangkan, melainkan sebaliknya. Einstein dan
para sejawatnya lebih dulu mengembangkannya secara teoritis dan
mengujinya secara empiris sekadar untuk meminimalisasi kekurangan dalam
pengoperasiannya.
Peralihan
dari ilmu empiris ke ilmu teoritis adalah langkah yang sukar. Menemukan
jawaban tentang apa yang terjadi relatif lebih mudah dibandingkan harus
menjawab mengapa hal itu terjadi. Hingga kini ilmu empiris gagal
menyusun kerangka teoritis yang merupakan sintesis dari serangkaian
penemuan empiris (khususnya di bidang/ kajian ilmu sosial). Hal itu
terjadi karena ilmu-ilmu sosial terlalu menitikberatkan aspek empiris
dan melalaikan aspek teoritis. Padahal empirisme merupakan tahap
keilmuan yang belum lengkap dan memerlukan orientasi yang lebih besar
teradap teori.
Hampir
seluruh ilmu pendidikan merupakan ilmu empiris. Namun kenyataannya kita
masih harus menemukan lebih banyak lagi hubungan empiris yang terdapat
dalam kelas. Pada ilmu-ilmu sosial masih sulit ditemukan penjelasan
secara keilmuan untuk sebagian besar masalah dari hal-hal yang paling
elementer apa yang yang terjadi ketika seorang anak belajar. Dalam
psikologi, misalnya, telah dikembangkan berbagai teori yang menerangkan
sejumlah gejala psikologis, namun tak satu pun dari teori-teori itu yang
dapat diterima oleh semua orang dan tak seorang pun mampu memberikan
keterangan mengenai seluruh aspek kelakuan manusia.
Tidak
demikian dengan ilmu-ilmu alam yang tampak lebih maju. Kendati tak satu
pun dari ilmu-ilmu itu memiliki kesamaan pendapat dalam keseluruhan
aspeknya, tetapi dalam fisika, misalnya, gejala cahaya dapat dijelaskan
dengan dua buah teori yang bertentangan: teori gelombang dan teori
partikel.