Jumat, 15 Maret 2013

Krisis Bawang, Bukti Indonesia tidak konsisten pada Inovasi

Krisis Bawang, Bukti Indonesia tidak konsisten pada Inovasi

ANTARA/Fanny Octavianus

Krisis bawang di Indonesia menunjukkan bahwa Indonesia tidak konsisten terhadap upaya memajukan inovasi yang dipunyai di dalam negeri. Hal itu dikemukakan Ketua Komite Inovasi Nasional Zuhal kepada wartawan, di sela-sela acara Konsultasi Nasional Iptek dan Inovasi yang diselenggarakan Kementerian Riset dan Teknologi di Jakarta, Kamis (14/3).
Zuhal menjelaskan bahwa Indonesia pernah berhasil melakukan swa sembada pangan dan diakui FAO pada 1994. Pencapaian swasembada pangan itu disebabkan pemerintah mengoptimalkan teknologi yang kompetitif untuk menghasilkan bibit unggul pertanian.

Namun dalam beberapa tahun belakangan ini terjadi perubahan dalam pengambilan keputusan. Tanah di Jawa semakin berkurang karena banyaknya industri. "Pertanian dipindah ke daerah yang kurang subur tanahnya. Tenaga ahli yang menguasai bidangnya memilih berkarya di luar negeri," keluh Zuhal.

Ia pun mengkritik keberadaan food estate di Merauke yang selama ini tidak merangkul masyarakat yang tinggal di wilayah paling timur di Indonesia itu. Menurutnya masyarakat Merauke hanya menjadi penonton di daerahnya sendiri.

Ia melihat bahwa pemerintah tidak punya interes dalam mengembangkan teknologi dan inovasi di dalam negeri. Apalagi terkait dengan masalah keamanan pangan.

"Indonesia tidak konsisten menjalankan inovasi yang sejak dahulu sudah digaungkan lewat GBHN dan Repelita. Sekarang tidak ada GBHN, tidak ada Repelita. Daripada membiayai subsidi BBM, lebih baik uangnya dipakai untuk memajukan inovasi dalam negeri," kritik Zuhal.
Menurutnya sudah saatnya ada political sains dan teknologi yang sifatnya berkelanjutan. Saat pemimpin negara berganti, lanjut Zuhal, kebijakan di bidang sains dan teknologi tetap jalan terus.

Menanggapi hal itu Menteri Riset dan Teknologi Gusti Muhammad Hatta mengakui masalah keamanan pangan cukup kompleks. "Sudah banyak peneliti yang menghasilkan bibit unggul untuk pangan seperti kedelai, padi, dan lainnya.


Namun ada sebagian petani yang tidak mau membeli bibitnya. Ada juga permainan kartel. Saya kira masalah bawang itu juga bagian dari permainan kartel," ujarnya.
Saat ini Kemenristek terus memperjuangkan royalti yang menjadi hak peneliti. Sebab, lanjut Gusti, selama ini peneliti tidak pernah mendapat royalti dari paten yang diperoleh.


"Royalti ini juga menjadi masalah. Memang masalah sangat kompleks. Tapi kami sudah memperjuangkan terus masalah royalti ini. Karena royalti ini bisa membuat peneliti bersemangat."
Pada bagian lain pakar ekonomi dan lingkungan Emil Salim menambahkan bahwa pembangunan ekonomi di Indonesia masih berbasis pada ukuran pendapatan Produk Domestik Bruto (PDB). Menurutnya sudah seharusnya pembangunan Indonesia berbasis pada PDB plus pembangunan sosial dan ekologi.

"Kalau tidak demikian, maka pembangunan ekonomi Indonesia sulit bisa berkelanjutan. Krisis energi, pangan, air bersih akan terjadi," kata Emil.

Ia menambahkan sudah saatnya mengubah pola pikir strategi iptek pasca 2015, yang harus bisa menjawab kebutuhan bangsa Indonesia, sekaligus ramah terhadap lingkungan. (Siswantini Suryandari)


Editor: Rina Garmina


Sumber :  metrotvnews.com

Related Posts

Krisis Bawang, Bukti Indonesia tidak konsisten pada Inovasi
4/ 5
Oleh
Add Comments


EmoticonEmoticon

:)
:(
hihi
:-)
:D
=D
:-d
;(
;-(
@-)
:P
:o
:>)
(o)
:p
(p)
:-s
(m)
8-)
:-t
:-b
b-(
:-#
=p~
x-)
(k)

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.