Senin, 07 November 2011

Menteri Setuju Bubar, Tipikor Daerah setelah Revisi UU

Menteri Setuju Bubar, Tipikor Daerah setelah Revisi UU

JAKARTA-Desakan pembubaran pengadilan tipikor daerah mendapat respon positif dari pemerintah. Menteri Hukum dan HAM Amir Syamsudin sependapat bahwa pengadi lan tipikor sebaiknya dipusatkan saja di Jakarta Ini dilakukan untuk me mudah kan pengawasan. Untuk kepentingan tersebut, dia mengusulkan revisi UU Pengadilan Ti pikor yang merupakan dasar pembentukan Pengadilan Tipikor di daerah. ”Usulan itu (pembubaran penga dilan tipikor daerah) menjadi catatan bagi kami. Memang penilaian itu tidaklah salah. Akan kami jadikan bahan masukan,” ujar Amir seusai menghadiri pemotongan hewan kurban di kantor Kemenkumham, Jakarta, Minggu (6/11).
Menurutnya formula yang lebih tepat untuk membubarkan pengadilan tipikor di daerah adalah melalui revisi undangundang yang menaungi pengadilan tipikor itu. Tentunya materi revisi dan usulannya perlu ada masukan pendapat dari berbagai pihak. Agar tidak terulang kembali persoalan pengadilan tipikor daerah yang lemah. Dia meyakini dorongan revisi UU Pengadilan Tipikor itu ba kal lebih bermanfaat. Legislatif pun da pat lebih menerima upaya re visi. ”Saya percaya temanteman di legislatif dapat menerima usulan revisi. Dan saya harap ada dukungan itu,” paparnya. Ditambahkan Menkumham, kondisi pengadilan tipikor daerah memang terjadi pergeseran yang mencolok.
Berubah pada posisi yang terkesan tak mendukung pemberantasan korupsi. Itu dibuktikan dengan lahirnya beberapa vonis bebas koruptor. Tentunya, tegas dia, kondisi itu sangat menggangu rasa keadilan masyarakat. Meskipun secara faktual putusn hakim sangatlah mutlak, independen dan bebas tekanan. Sesuai aturan yang ditetapkan. ”Siapa saja harus menghormati putusan hakim pengadilan, tetapi perubahan warna tersebutlah yang kami rasa telah menyakiti perasaan masyarakat,” tegasnya. Kendati demikian, Amir juga sadar bahwa upaya penutupan pengadilan tipikor di daerah tidak begitu mudah, karena penyebaran Tipikor juga berdasarkan undang-undang.
Oleh karenanya, kata Amir, instansinya akan mengkaji ulang UU tersebut serta akan merevisinya ke arah yang lebih baik. ”Pengadilan Tipikor ke daerah juga karena legitimasi UU, oleh karena itu harus kami akan revisi UU dahulu. Kami berharap ada dukungan nanti dari DPR,” ujarnya. Dihubungi terpisah, Ketua Lembaga Pengkajian Hukum dan Strategi Nasional, Ahmad Rifai, menolak wacana pembubaran pengadilan tipikor di daerah. Wacana itu dapat menyesatkan dan mengarah pada kemunduran semangat memberantas korupsi. ”Ada persoalan pada penegak hukum. Itu yang perlu dibredel dan diberesin. Bukan pengadilannya,” tegas Ahmad Rifai. Menurutnya pembubaran pengadilan tipikor malah dapat menjadi persoalan baru.
Di antaranya lambatnya penetapan vonis dan berpeluangnya muncul vonis lain yang tak diharapkan. ”Jangan sampai kalau dibubarkan malah banyak vonis yang kurang dari 2 tahun. Itu kan malah jadi persoalan lain. Kaya diseragamkan saja vonis,” ucapnya. Seperti diketahui sebelumnya, Ketua Mahkamah Konstitusi (MK), Mahfud MD juga meminta agar seluruh Pengadilan Tipikor di daerah yang dibentuk baru-baru ini dibubarkan. Menurut Mahfud, hal itu dikarenakan, selain mengacaukan sistem hukum yang sudah ada, kinerja pengadilan tipikor di daerah lebih buruk daripada pengadilan umum. Salah satu parameternya, maraknya vonis bebas yang dikeluarkan oleh majelis hakim Pengadilan Tipikor daerah. ”Sekarang ini kita kan kecewa, pengadilan tipikor di daerah kecenderungannya membebaskan para koruptor dan justru lebih jelek dari pengadilan umum.
Oleh sebab itu, menurut saya, sesudah melihat perjalanan ini justru semakin mengacaukan sistem hukum,” ujar Mahfud. Berdasarkan data Indonesian Corruption Watch (ICW), setidaknya ada 40 terdakwa kasus korupsi yang dimerdekakan pasca lahirnya UU Pengadilan Tipikor. Dari sejumlah pengadilan tipikor daerah yang telah memvonis bebas koruptor, pengadilan tipikor Surabaya tergolong paling banyak memberikan keputusan kontrovesial tersebut. Setidaknya, pengadilan tipikor surabaya telah memvonis bebas sembilan terdakwa yang terlibat kasus korupsi penga daan lift Pemkot Su ra baya dan Rumah Sakit Bakti Dharma Husada (BDH) sebesar Rp 6,3 miliar. Peringkat kedua ditempati Pengadilan Tipikor Samarinda, mem berikan vonis bebas kepada empat belas anggota DPRD Kutai Karta negara yang menjadi terdakwa ka sus dana operasional APBD Ku tai Kartanegara senilai Rp 2,98 miliar.
Tujuh diantaranya adalah Ketua DPRD Kutai Kartanegara nonaktif Salehudin, Anggota DPRD nonaktif Suryadi, Suwaji, Sudarto, Rusliandi, Abu Bakar Has, dan Abdul Sani. Selanjutnya, Pengadilan Tipikor Bandung yang memberikan vonis bebas kepada tiga terd akwa. Kemudian, Pengadilan Tipikor Semarang yang telah memvonis bebas satu terdakwa Di rektur Utama PT Ka runia Prima Sedjati, Oei Sindhu Stefanus dg du gaan korupsi proyek Sistem In formasi Administrasi Kepen du dukan (SIAK) online Cilacap senilai Rp 16,7 miliar.

Tak Cukup Pengawasan
Fenomena vonis bebas kepada terdakwa koruptor oleh beberapa pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) di daerah benar-benar menjadi pekerjaan rumah (PR) tersendiri bagi lembaga hukum negara. Salah satunya adalah Komisi Yudisial yang bertugas me ng awasi perilaku dan kode etik hakim. Komisioner KY Bidang Pengawasan, Suparman Marzuki mengatakan, maraknya pembebasan para terdakwa koruptor dari jeratan hukum menjadi tugas bagi KY. Apalagi, vonis bebas itu dilakukan oleh sebagian besar pengadilan yang baru saja dibentuk oleh Mahkamah Agung. “Fenomena itu tentu menjadi tugas berat bagi kami, apalagi ini menyangkut upaya membersihkan negara ini dari praktik korupsi, tapi kalau kondisinya begini (vonis bebas) kemung kinan memberikan efek jera kepada para koruptor tidak terealisasi,” katanya, kepada INDOPOS, kemarin (5/11).
Menurutnya, salah satu yang harus ditingkatkan adalah pengawasan terhadap majelis hakim yang memproses perkara korupsi di setiap daerah. Hanya saja, untuk memenuhi hal tersebut tentu tidak mudah. Sebab, pihaknya tidak memiliki kekuatan yang memadai jika pengawasan dimaksud ditafsirkan secara konvensional yakni memantau setiap proses persidangan yang berjalan di setiap pengadilan tipikor di daerah. “Kalau pengawasan itu dimaknai setiap persidangan perkara korupsi harus kita pantau tentu itu sangat berat. Karena kekuatan secara yuridis maupun kuantitas kami tidak sekuat itu,” ujarnya. Karena itu, lanjut Suparman, pengawasan yang menjadi tugas KY harus ditafsirkan secara utuh, yaitu melakukan langkah preventif (pencegahan) kemungkinan terjadinya pelanggaran kode etik dan perilaku hakim serta melakukan pengawasan secara kontinyu. “Misalnya, kami juga terlibat dalam proses rekrutmen.
Meskipun tidak secara general, setidaknya kami dilibatkan tracking para calaon hakim yang diseleksi MA. Inilah yang kami maksud melakukan preventif,” bebernya. Suparman menjelaskan, hal terpenting yang perlu dievaluasi dalam kasus vonis bebas itu adalah minimnya Sumber Daya Manusia (SDM) yang dalam hal ini adalah majelis hakim. Sebab, menurutnya, majelis hakim di pengadilan-pengadilan yang telah membebaskan puluhan koruptor itu diduga kuat tidak memiliki kredibilitas sebagai penegak hukum yang tanpa pandang bulu, terutama dalam hal kasus korupsi. “Jadi, menurut kami memang yang paling penting sebenarnya SDM (hakim,red).
Karena, mau diawasi seketat apapun kalau sejak dari lahir (dibentuk) diisi SDM yang rusak ya hasilnya juga tidak akan bagus,” tandasnya. Karena itu, ia berharap agar kedepan MA lebih terbuka dalam rekrutmen hakim dan melibatkan KY dalam bagian tertentu proses tersebut. Sebab, mengandalkan pengawasan secara konvensional tanpa adanya langkah preventif dengan melakukan seleksi lebih ketat tidak akan pernah menemukan pengadilan tipikor yang kredibel. (rko/ris)
Menteri Setuju Bubar, Tipikor Daerah setelah Revisi UU
4/ 5
Oleh
Add Comments


EmoticonEmoticon

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.